ABSTRAK
Nama JUREID, NIM: 01214040003, Jurusan
Ekonomi Islam, Judul Makalah : Tujuan,
Filosofis, dan Prinsip-prinsip Dasar Perbankan Syariah. Dosen Pembimbing
Bapak Dr. Andri Soemitra, M.Ag.
Perbankan
syariah merupakan lembaga keuangan yang sistem operasionalnya berdasarkan
prinsip syariah.Perbankan syariah bertujuan menunjang pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan
rakyat” yang dalam penjelasannya pasal 3 dikatakan dalam mencapai tujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional, peebankan syariah tetap berpegang pada
prinsip syariah secara kaffah dan konsisten. Filosofis perbankan syariah
sejalan dengan filosfis ekonomi syariah yang meliputi beberapa unsur
diantaranya adalah tauhid, keseimbangan (equilibrium),
kebebasan, produktif, adil, memiliki akhlak dan moralitas usaha, dan tanggung
jawab. Prinsip utama perbankan syariah adalah mienghindari maghrib dan wujud nyatanya dari pada prinsip tersebut adalah dalam
bentuk prinsip bagi hasil (mudharabah),
pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah) atau
dengan adanya pilihan pemindahan pemilikan atas barang yang disewa dari pihak
bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna)
sesuai dengan Undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perbankan.
Kata Kunci:
perbankan syariah.
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
1400
tahun yang lalu, Nabi Muhammad Saw mendakwahkan islam sebagai sebagai
satu-satunya agama yang di ridhoi bagi umat manusia. Bahwa manusia dalam islam
harus lah kaffah. Di dalam prinsip
islam (Islamic law) tidak ada pemisahan antara agama dan Negara dan unsur-unsur
kehidupan lainnya termasuk dalam hal ekonomi, sebagaimana yang terjadi didunia
barat (sekuler)
Islam
adalah pandangan hidup yang seimbang dan terpadu, didesain untuk mengantarkan
kebahagiaan manusia (falah) lewat
penegakan keharmonisan, kebutuhan moral dan materi manusia, dan aktualisasi
keadilan sosio ekonomi dan persaudaraan dalam masyarakat. Seruan untuk
kesejahteraan yang berorientasi keadilan dan keseimbangan ini diulang-ulang
setiap hari lima kali dari atas menara. Kaum muslimin telah memulai menyambut
seruan ini dan terdapat kebangkitan kembali di dalam dunia islam seperti dalam
lapangan intelektual.
Sesuai
dengan tujuannya yaitu falah dunia
akhirat, maka kaum intelektual muslim mulai merancang suatu sistem keuangan
dalam hal ini perbankan yang sesuai nash,
maka dibentukkan suatu sistem perbankan islam/syariah yang pada prinsipnya free of interest (tanpa bunga).
Perbankan
syariah atau perbankan islam (al
Mashrafiyah al islamiyah) adalah suatu sistem perbankan yang pelaksanaannya
berdasarkan hukum islam (syariah). Sistem
ini berdasarkan al Qur’an yaitu adanya larangan riba dalam praktiknya, serta
adanya larangan dalam hal yang haram/terlarang.
Meskipun
prinsip-prinsip yang disebutkan di atas mungkin saja telah diterapkan dalam
sejarah perekonomian islam, namun baru pada abad ke 20 mulai berdiri bank-bank
islam yang menerapkannya bagi lembaga-lembaga komersial swasta/semi swata dalam
komunitas muslim di di dunia.[1]
Konsep
perbankan syariah ini sendiri merupakan hal yang relatif baru bagi bila dibandingkan
dengan konvensional bagi masyarakat Indonesia. Walaupun pemikiran konsep dasar
perbankan syariah itu telah berjalan lama, kenyataannya praktek-praktek syariah
itu baru dimulai pada tahun 1992. Berdasarkan kenyataannya bahwa praktek
perbankan syariah itu baru pada tahap awal (an
infant stage), adalah wajar bila sistem perbankan syariah itu masih kurang
dimengerti oleh masyarakat, sehingga sebagian dari mereka memandang, bahkan
sebagian lagi telah ikut menggunakan jasa bank syariah, dengan harap-harap
cemas dan keraguan sekaligus.
Namun
demikian, kelahiran bank syariah di Indonesia adalah didorong oleh keinginan
masyarakat Indonesia (terutama masyarakat islam) yang berpandangan bunga
merupakan riba, sehingga dilarang oleh agama. Dari aspek hukum, yang mendasari
perkembangan bank syariah di Indonesia adalah UU no. 7 Tahun 1992. Dalam UU
tersebut prinsip syariah masih samar, yang dinyatakan sebagai prinsip bagi
hasil. Prinsip perbankan syariah secara tegas dinyatakan dalam UU No. 10 tahun
1998, yang kemudian diperbaharui dengan UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia dan UU No. 3 tahun 2004. Dengan demikian, perkembangan lembaga
keuangan yang menggunakan prinsip syariah dimulai pada tahun 1992, yang diawali
dengan berdirinya bank Muamalat Inodonesia (BMI) sebagai bank berbasis syariah pertama
di Indonesia.
Bila
masyarakat kita ditanya apakah bank syariah itu, maka kebanyakan mereka hanya
menyatakan bahwa bank syariah itu adalah bank tanpa bunga, bahkan ada juga yang
mengatakan sama saja dengan bank konvensional. Pernyataan pertama memang benar
adanya, namun sebenarnya bank syariah tidak sekedar itu. Lagi pula produk bank
syariah bukan merupakan produk yang aneh ( exotic
product ), dan bukan hanya
diperuntukkan atau hanya dapat diterima oleh muslim saja. Akan tetapi
diperuntukkan untuk semua kalangan sebagaimana tujuan al Qur’an bahwa islam
dalam segala ruang lingkupnya adalah rahmatan
lil ‘alamin.
Berdirinya
perbankan dengan sistem bagi hasil, di dasarkan pada dua alasan utama yaitu
pertama, adanya pandangan bahwa bunga (interest)
pada bank konvensional hukumnya haram karena termasuk dalam kategori riba yang
dilarang agama, bukan saja pada agama islam tetapi juga oleh agama samawi
lainnya, kedua, dari aspek ekonomi, penyerahan resiko usaha terhadap terhadap
salah satu pihak di nilai melanggar norma keadilan. Dalam jangka panjang sistem
perbankan konvensional akan menyebabkan penumpukan kekayaan pada segelintir
orang kaya atau yang memiliki kapital besar.
Maka
dalam hal ini penulis akan mengkaji perbankan syariah dari sisi tujuan,
filosofis, dan prinsip-prinsip dasarnya yang mungkin kajian ini akan dapat
memberikan khasanah kepada penulis dan pembaca lainnya seperti apa perbankan syariah
itu.
B. Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah pada karya tulis ini adalah :
1. Apa
tujuan perbankan syariah?
2. Bagaimana
falsafah perbankan syariah?
3. Bagaimana
prinsip-prinsip dasar perbankan syariah?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah perbankan syariah
dan sebagai bahan presentasi sebagai karakteristik penilaian.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sekilas Ekonomi syariah
Sebelum
kita berbicara tentang perbankan syariah itu sendiri, alangkah penting kita
melihat ekonomi dalam sistem islam itu sendiri, dalam hal ini kita sebut dengan
ekonomi syariah. Hal ini karena perbankan syariah sendiri adalah salah satu
dari sekian instrumen yang ada dalam pengembangan ekonomi syariah itu sendiri.
Ekonomi
syariah adalah kumpulan norma hukum yang bersumber dari al Qur’an dan Hadits
yang mengatur urusan perekonomian umat manusia. Maka dengan defenisi tersebut,
dalam setiap tindakan ekonomi atau kegiatan usaha dilaksanakan berdasarkan
prinsip syariah.[2]
Misalnya Bank Syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya.
Dari
pengertian tersebut, dapat kita rumuskan beberapa tujuan sistem ekonomi syariah
diantaranya:
1. Kesejahteraan
ekonomi dalam kerangka norma moral islam. Dasar pemikiran ini dapat kita lihat
pada ayat al Qur’an misalnya al baqarah ayat 2 dan 168, al Maidah ayat 87-88
dan al Jumu’ah ayat 10.
2. Mencari
kesenangan akhirat yang di ridhoi Allah Swt dengan segala capital yang
diberikan Allah kepada kita
3. Membentuk
masyarakat dengan tatanan social yang solid berdasarkan keadilan dan
persaudaraan yang universal. Termaktub dalam surat al Hujurat ayat 13, al
Maidah ayat 8, dan asy syuu’ara ayat ayat 183.
4. Mencapai
distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata.
5. Menciptakan
kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan sosial.
6. Menghindari
kebinasaan di muka bumi.
Ekonomi
syariah memiliki karakteristik dan nilai-nilai yang berfokus pada amar ma’ruf nahi munkar yang berarti
mengerjakan yang benar dan meninggalkan yang dilarang. Hal ini dikategorikan
sebagai:
a. Ekonomi
ilahiyyah (ekonomi Ketuhanan)
Hal ini mengandung arti
bahwa manusia didalam melaksanakan kegiatan ekonominya adalah untuk ibadah,
sehingga manusia wajib menaati syariatnya dengan tujuan mendapatkan
keridhaannya. Berbakti kepada Tuhan adalah Tujuan muslim sebagai konsekuensinya
yaitu kampung akhirat, tiap-tiap orang akan mempertanggungjawabkan semua
perbuatannya ketika di dunia.
b. Ekonomi
Akhlak
Bahwa dalam sifat dan
akhlak yang baik maka hal yang berkaitan dengan sektor produksi, distribusi dan
konsumsi akan dapat dikontrol dan sifat tidak tidak peduli terhadap orang lain
dapat dihilangkan.[3]
c. Ekonomi
Kemanusiaan
Manusia sebagai
khalifah di muka bumi diberikan tanggung jawab untuk mengelola, mengolah dan
mempergunakan sumber daya yang ada dengan sebaik-baiknya. Manusia boleh
berkreasi dan berinovasi serta bekerja keras untuk kemakmurannya.
d. Ekonomi
keseimbangan
Selain menjaga
keseimbangan antara dunia dan akhirat, kita juga sangat diwajibkan menjga
kepentingan pribadi dengan kepentingan umum dan bentuk hak dan kewajiban
sehingga ekonomi itu tidak hanya ada pada yang mampu saja dan mengabaikan hak
yang lemah.[4]
Karakteristik
ekonomi islam yang telah penulis uraikan di atas dapat kita derivasi menjadi
nilai atau landasan filosofis yang dianut oleh
perbankan syariah, hal ini karena perbankan syariah. Bahkan secara
global mencakup tujuan dan prinsipnya perbankan syariah itu sendiri.
B. Pengertian Perbankan/bank Syariah
Perbankan
syariah (Islamic Bank) sebagai
perbankan yang relatif muda bila dibandingkan dengan perbankan konvensional
adalah perbankan yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat
islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas bank
syariah selain istilah bank islam itu sendiri, yakni bank tanpa bunga (interest free bank), bank tanpa
riba (lariba bank) dan Islamic bank itu sendiri. Indonesia sendiri secara teknis
yuridis, penyebutan bank islam mempergunakan istilah resmi “bank syariah” atau
yang secara lengkap disebut “bank berdasarkan prinsip syariah”.[5]
Sedangkan
menurut Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang
No. 7 tahun 1992 perbankan syariah/bank syariah
adalah bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberi jasa lalu lintas pembayaran.[6]
Selain
itu, dalam pasal 1 ayat 13 Undang-undang No. 10 tahun 1998 dinyatakan bahwa:
“prinsip syariah adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya
dengan dinyatakan sesuai dengan syariah,……”
Sementara
itu, dalam pasal 1 angka 1 undang-undang No. 21 tahun 2008 perbankan syariah
adalah segala sesuatu yag menyangkut tentang bank syariah dan unit usaha
syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam
melaksanakan kegiatan usahanya.[7]
hal ini menegaskan bahwa segala hal mengenai perbankan syariah baik menyangkut
kelembagaan, kegiatan usaha, maupun prosesnya dilakukan berdasarkan
undang-undang baru ini. Ini mengindikasikan bahwa pada undang-undang sebelumnya
yang mengatakan bahwa setiap kegiatan usaha-usaha yang berdasarkan prinsip
syariah dikatakan sebagai kegiatan berdasarkan prinsip bagi hasil mulai
ditinggalkan, sebab dunia perbankan Indonesia sudah mulai mengenal dan mengakui
perbankan syariah dan menerapkan dual
banking sistem (konvensional dan syariah).
Selanjutnya
prinsip tersebut akan dijelaskan pada pembahasan selanjutnya. Didalam
menjalankan operasinya bank syariah mempunyai fungsi antara lain:
1. Sebagai
penerima amanah untuk melakukan investasi atas dana-dana yang dipercayakan oleh
pemegang rekening investasi/deposan atas dasar prinsip bagi hasil dengan
kebijakan investasi bank
2. Sebagai
pengelola/manajer investasi atas dana yang dimiliki oleh pemilik dana/shahibul
maal sesuai dengan arahan investasi yang dikehendaki oleh pemilik dana (bank
bertindak sebagai manajer investasi)
3. Sebagai
penyedia jasa lalu lintas pembayaran dan jasa-jasa lainnya sepanjang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah. Bisa dikatakan bank juga disebut sebagai
investor.
4. Sebagai
pengelola fungsi social seperti zakat dan dana charity lainnya.
C. Tujuan Perbankan syariah
Pada
Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No.7 tahun 1992
tentang Perbankan terdapat beberapa perubahan memberikan peluang yang lebih
besar dari pengembangan perbankan syariah. Dari Undang-undang tersebut dapat
diperoleh pengertian bahwa di dalam sistem perbankan islam dikembangkan dengan
tujuan sebagai berikut:
1. Memenuhi
jasa perbankan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga.
Mobilitas dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas, teruatama dari
segmen yang selama ini belum dapat tersentuh oleh perbankan konvensional yang
menerapkan sistem bunga (interest)
2. Membuka
peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan. Dalam
prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship). Sementara
dalam bank konvensional konsepnya adalah debtor
and creditor relationship.
3. Memenuhi
kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki beberapa keunggulan
komparatif berupa peniadaaan bunga yang berkesinambungan (perpectual interest effect), membatasi usaha spekulatif yang tidak
produktif (unproductive speculation),
pembiayaan ditujukan kepda usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.
Kemudian
menurut Undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah pasal 3
termaktub bahwa “perbankan syariah bertujuan menunjang pembangunan nasional
dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan
rakyat” yang dalam penjelasannya pasal 3 dikatakan dalam mencapai tujuan menunjang
pelaksanaan pembangunan nasional, peebankan syariah tetap berpegang pada
prinsip syariah secara kaffah dan konsisten.
Kemudian
kita melihat beberapa tujuan banka syariah yang oleh amin aziz sebagai berikut:[8]
1. Menyediakan
lembaga keuangan perbankan sebagai sarana meningkatkan kualitas kehidupan
social ekonomi masyarakat banyak.
2. Meningkatkan
partisipasi masyarakat dalam proses pembanguanan terutama di bidang ekonomi
keuangan.
3. Berkembangnya
lembaga bank dan sistem perbankan yang sehat berdasarkan efisiensi dan keadilan
akan mampu meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usaha-usaha ekonomi
masyarakat banyak antaar lain memperluas jaringan lembaga-lembaga keuangan
perbankan ke daerah-daerah terpencil.
4. Mendidik
masyarakat untuk berpikir ekonomis dan berperilaku bisnis dalam meningkatkan
kualitas hidup mereka.
5. Berusaha
membuktikan bahwa konsep perbankan islam dapat tumbuh dan berkembang melebihi
bank-bank lainnya.
Kita
melihat tujuan ini sangatlah global dan jangkauannya sangat luas, saya sebagai
penulis menambahkan kekhususan yang mungkin untuk mencapainya juga butuh kerja
keras yaitu menegakkan nilai islam secara kaffah
di dalam sistem perbankan itu sendiri. Saya berpikir hal ini karena saya
melihat di bank syariah sendiri masih ada yang namanya pendapatan non halal
yang sama sekali hal ini tidak sejalan dengan perjuangan syariah itu sendiri.
D. Filosofis Perbankan Syariah
Kalau
kita mengacu kepada pengertian ekonomi syariah di atas, maka dapat kita
rumuskan tiga filsafat hukum ekonomi syariah. Pertama, semua yang ada dialam semesta ini, langit, bumi, serta
sumber-sumber alam lainnya bahkan kekayaan yang dimiliki manusia sekalipun
adalah milik Allah dan Allah lah yang menciptakannya. Semua yang diciptakanNya
tunduk pada kehendak dan ketentuanNya. Manusia sebagai khalifah berhak mengurus
dan memanfaatkan alam ini untuk kelangsungan hidup dan kehidupan manusia dan
lingkungannya. (QS. Thaha ayat 6 dan Al Maidah ayat 120). Kedua, Allah menciptakan manusia sebagai khalifah dengan segala
perlengkapannya yang sempurna, agar ia mampu melaksanakan tugas dan
kewajibannya di bumi. (QS. Lukman ayat 20, An Nahl ayat 10-16, Fatir 27-28). Ketiga beriman kepada hari kiamat dan
hari pengadilan. Keyakinan apda hari kiamat merupakan asas yang penting karena
dengan hal tersebut tingkah laku ekonomi manusia akan dapat terkendali, dan ia
akan amanah atas semua yang diberikan padanya.
Perbankan
syariah merupakan bagian dari ekonomi syariah, dimana ekonomi syariah merupakan
bagian dari muamalat yaitu suatu perwujudan hubungan interaksi antara manusia
yang satu dengan manusia lainnya. Oleh karena itu perbankan syariah tidak
terlepas dari aturan Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum islam. Perbankan
syariah juga tidak terlepas dari paradigma ekonomi syariah seperti :
1. Nilai
Tauhid
Di dalam Al Qur’an
dikatakan bahwa salah satu tujuan diciptakannya manusia adalah untuk
menghambakan diri pada Allah Swt. Penghambaan ini merupakan realisasi tauhid seorang
hamba terhadap Penciptanya. Konsekuensinya segenap aktivitas ekonomi dapat
bernilai ibadah jika di niatkan untuk mendekatkan diri kepada Nya.
2. Allah
SWT sebagai pemilik harta yang hakiki
Prinsip ekonomi syariah
memandang bahwa Allah Swt adalah pemilik hakiki dari harta. Manusia hanya
mendapatkan titipan harta dari Allah sehingga cara mendapatkan dan
membelanjaknnya harus sesuai dengan aturan dari Allah sebagai pemilik
hakikinya.
3. Visi
Global dan jangka panjang
Ekonomi syariah
mengajarkan manusia untuk bervisi jauh ke depan dan memikirkan alam secara
keseluruhan. Ajaran islam menganjurkan penganutnya untuk mengejar akhirat yang
merupakan kehidupan jangka panjang tanpa melupakan dunia.
4. Keadilan
Keadilan ini sangat
penting dalam setiap hal, termasuk juga dalam tindakan ekonomi. Allah Swt
memerintahkan kepda kita untuk senantiasa adil dalam menetapkan setiap hal.
Perbankan
syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya mempunyai falsafah mencari
keridhaan Allah untuk memperoleh falah
dan kebaikan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu setiap kegiatan lembaga
keuangan syariah yang dikhawatirkan menyimpang dari syariat harus dihindari.
Perbankan syariah harus menghindarkan diri dari riba dengan cara menghindari
penggunaan sistem yang menetapkan dimuka secara pasti keberhasilan suatu usaha,
dan menghindari sistem persentasi untuk pembebanan biaya terhadap utang dan
pemberian imbalan terhadap simpanan yang mengandung unsur melipatgandakan
secara otomatis hutang tesebut hanya karena berjalannya waktu (riba nasiah).
Bank syariah harus menetapkan sistem bagi hasil dan perdagangan dengan mengacu
kepada Al Qur’an dan Ash Sunnah. Maka setiap transaksi perbankan syariah harus
dilandasi sistem bagi hasil dan trade
(pertukaran uang dengan barang).
Sejalan
dengan beberapa hal yang telah dikemukakan di atas, maka dapat kita tarik
sebuah konklusi filosofis perbankan syariah yang meliputi beberapa unsur
diantaranya adalah tauhid, keseimbangan (equilibrium),
kebebasan, produktif, adil, memiliki akhlak dan moralitas usaha, dan tanggung
jawab.[9]
Salah
satu unsur tersebut di atas, yaitu unsur keseimbangan mengartikan bahwa islam
menolak daur tertutup pendapatan kekayaan, seharusnya aktivitas ekonomi, berupa
harta atau modal harus merata pada seluruh masyarakat untuk menjaga
keseimbangan (equilibrium) agar tidak
terjadi dis equilibrium,[10]
seperti yang ditegaskan dalam Al Qur’an:[11]
“ berimanlah
kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang
Allah telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman
diantara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar”
Makna
ayat di atas adalah “agar kekayaan jangan hanya beredar pada orang-orang kaya
saja”.
Produktif
berarti harta yang dipergunakan untuk kemaslahatan dan kesejahteraan. Oleh
karena itu harta tidak boleh menganggur (idle)
dan diperkenankan memperolah laba.
Asas
keadilan merupakan tujuan yang hendak diwujudkan oleh hukum.[12]
Pelaksanaan asas ini dalam suatu perjanjian menuntut para pihak melakukan yang
benar dalam pengungkapan kehendak dan keadaan, memenuhi semua kewajibannya.
Dasar hukum yang bersifat umum tentang asas ini adalah Al Maidah ayat 8 “ berlaku adilah, karena adil itu lebih dekat
kepada taqwa”, begitu pula dalam surat Al Hadid ayat 25 dikatakan: “ sesungguhnya kami telah mengutus Rasul-rasul
kami dengan membawakan bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama
mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan
keadilan”.keadilan berbeda dengan persamaan. Keadilan adalah keseimbangan
antara berbagai potensi berbagai individu, baik moral maupun material, antara
individu dan masyarakat, dan antara
masyarakat itu sendiri yang berlandaskan syariah islam.[13]
Adil
juga berarti dilarangnya riba dan diharuskannya melakukan pembagian hasil dan
resiko (profit loss sharing). Dalam
hal ini adil juga sebagai paradigma hubungan antara bank dengan nasabah.
Hubungan tersebut adalah kontrak (contractual
agreement) atau akad antara investor shahibul maal dengan investor mudharib
yang bekerja sama untuk melakukan usaha produktif dan dalam pembagiannya
harus adil (mutual investment
relationship). Dengan adanya usaha kerjasama investasi tersebut pada
dasarnya akan mewujudkan suatu hubungan usaha yang harmonis karena berdasarkan
sutau asas keadilan usaha dan menikmati keuntungan yang disepakati secara
proporsional. Sedangkan apabila kita amati hubungan nasabah dengan bank
konvensinal adalah kreditur dan debitur dengan menerapkan sistem bunga.
Walaupun ada keinginan dari bank untuk kerjasama dan pembinaan namun hal itu
sulit terlaksana dan berkesinambungan karena tujuan akhir bank adalah profit
dengan mengabaikan kondisi nyata nasabah apakah usahanya sedang mengalami
keuntungan atau kerugian. Sehingga hal ini dapat menimbulkan eksploitasi oleh
bank terhadap nasabah atau sebaliknya.
E. Prinsip-prinsip Dasar Perbankan
syariah
Prinsip
syariah adalah prinsip yang dipegang dan dijalankan dalam setiap hal oleh
seseorang, badan atau lainnya yang berdasarkan kepada Al Qur’an dan Sunnah.
Kata syariah itu sendiri merupakan derivasi dari hukum islam (Islamic law) yang termaktub dalam Al
Quran dan sunnah tersebut.
Apabila
hukum islam dilanggar maka akan mendapatkan sanksi dari Allah sebagai pemilik
syariah. Hal ini lah yang dijadikan oleh Perbankan Syariah sebagai pedoman dan
prinsip untuk menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar dalam
kegiatan ekonominya.
Prinsip
syariah yang dimaksud adalah sebagaimana pasal 2 penjelasan Undang-undang No 21
Tahun 2008 yaitu: kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah antara lain
adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:
a. Riba,
yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi
pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas dan waktu
penyerahan (fadhl), atau dalam
transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan
dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
b. Maisir,
yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan
bersifat untung-untungan;
c. Gharar,
yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui
keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan
kecuali diatur lain dalam syariah;
d. Haram,
yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
e. Zalim,
yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Kemudian
dapat ditambahkan prinsip utama yang dianut oleh bank syariah yang tercantum
PSAK no 59 mengenai akuntansi syariah yaitu:
a. Azaz
utama kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal
b. Pelarangan
riba
c. Tidak
mengenal konsep time value of money
d. Konsep
uang sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas
e. Kegiatan
tidak spekulatif
f. Tidak
boleh menggunakan dua harga untuk satu barang
g. Tidak
boleh malakukan dua transaksi dalam satu akad
h. Konsep
bagi hasil
i.
Tidak membedakan antara sector moneter
dan sector riil
j.
Dapat memperoleh imbalan atas jasa
perbankan lain yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Kemudian
bank syariah adalah bank yang menganut demokrasi ekonomi dan prinsip
kehati-hatian. Demokrasi ekonomi yaitu kegiatan ekonomi syariah yang mengandung
nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sedangkan prinsip
kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan bank yang wajib dianut guna mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Prinsip
syariah dan prinsip utama diatas tentu bank syariah harus mewujudkannya dalam
bentuk riil operasionalnya. Sehingga prinsip syariah itu diwujudkan dalam
prinsip dasar operasionalnya sebagaimana termaktub dalam pasal 1 ayat 13
Undang-undang No. 10 tahun 1998 tersebut.
Sebagaimana
pengertian bank syariah yang telah penulis bicarakan sebelumnya, menegaskan
bahwa bank syariah beroperasi berdasarkan prinsip syariah dalam jasa lalu
lintas pembayarannya. Sedangkan prinsip syariah itu sendiri adalah aturan
perjanjian berdasarkan hukum islam antara bank dengan pihak lain untuk
penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang
dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip
bagi hasil (mudharabah), pembiayaan
berdasarkan penyertaan modal (musyarakah),
prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa
murni tanpa pilihan (ijarah) atau
dengan adanya pilihan pemindahan pemilikan atas barang yang disewa dari pihak
bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna).[14]
Pada
sistem operasi bank syariah, pemilik dana (nasabah) menginvestasikan uangnya di bank tidak dengan
motif mendapatkan bunga, tapi dalam rangka mendapatkan keuntungan bagi hasil.
Dana nasabah tersebut kemudian disalurkan kepada mereka yang membutuhkan,
dengan perjanjian pembagian keuntungan sesuai kesepakatan.
Secara
garis besar prinsip-prinsip dasar tersebut adalah:
1. Prinsip
Titipan/simpanan (Depository/ al Wadi’ah)
2. Prinsip
Bagi Hasil (profit loss sharing)
3. Prinsip
Jual Beli (Sale and Purchase)
4. Prinsip
Sewa (operational lease and financial lease)
5. Prinsip
Jasa (Fee based service)
Untuk
lebih jelasnya kita akan bicarakan dibawah ini dengan segala bentuknya.
a.
Prinsip
Titipan/Wadi’ah
Prinsip wadi’ah adalah
titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum,
yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip menghendaki.[15]
Pada dasarnya, wadi’ah
adalah bersifat yad al amanah (tangan
amanah), artinya penerima titipan tidak bertanggung jawab atas kehilangan atau
kerusakan yang terjadi pada barang titipan selam hal ini bukan karena
kecerobohannya.[16]
Dalam perkembangannya,
pada aktivitas ekonomi tidak mungkin penerima simpanan akan meng idle kan aset
tersebut, akan tetapi mempergunakannya. Karena itu ia harus meminta izin untuk
kemudian mempergunakan hartanya tersebut dengan catatan ia menjamin akan
mengembalikan aset tersebut secara utuh. Dengan keadaan tersebut maka kita
tidak lagi menyebutnya yal al amanah,
tetapi yadh adh dhamanah (tangan
penanggung) yang bertanggung jawab atas segala kehilangan atau keadaan lainnya
pada barang.[17]
Sebagai penerima
simpanan bank dapat memanfaatkan al wadi’ah untuk tujuan current account (giro)
dan saving account (tabungan berjangka).
Implikasi dan
konsekuensi dari prinsip ini adalah:
1. Keuntungan
atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank,
sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai insentif.
2. Bank
harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup penyaluran dana yang
disimpan dan persyaratan lainnya yang
disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah
3. Terhadap
pembukaan rekening bank mengenakan biaya administrasi untuk sekedar menutupi
biaya yang benar-benar terjadi
4. Ketentuan
lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan tetap berlaku selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Berikut
ini merupakan skema wadi’ah adh dhamanah
1
Mustawda’/penympan
|
Muwaddi’/penitip
|
4
beri bonus
3
bagi hasil 2 peman
Tan
dana
Pengguna dana/usaha
|
Gambar
ini menjelaskan proses terjadinya al wadiah, pihak penerima titipan boleh
menggunakan uang untuk usaha dan dia dapat member bonus atas hasil usaha
tersebut.
b.
Prinsip
bagi hasil
Prinsip bagi hasil ini
dapat dikategorikan dalam empat jenis yaitu al
musyarakah, al mudharabah, al muzara’ah dan al musaqah. Namun yang paling
banyak dipakai oleh perbankan adalah musyarakah dan mudharabah.
Al musyarakah (partnership, project financing participation)
adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil. Merupakan akad kerja sama antara dua
pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak
memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise)
dengan kesepakatan keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai
kesepakatan.
Musyarakah ini
diaplikasikan dalam perbankan dalam bentuk proyek dan modal ventura. Dalam
pembiayaan proyek kedua pihak sama-sama menyediakan dana. Setelah proyek itu
selesai, nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasilnya yang telah
disepakati untuk bank. Sedangkan modal ventura, penanaman modal dilakukan untuk
jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual
bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
Al Mudharabah (Trust Financing, Trust Investment),
berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan. Lebih tepatnya kita
katakan proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usahanya.[18]
Dalam prakteknya, mudharabah adalah kontrak atau akad
kerjasama antara dua pihak yang pihak pertama disebut rab al mal/sahibul maal
(investor) mempercayakan uangnya sebagai
modal kepada pihak kedua (mudharib)
seluruhnya (100%) untuk tujuan menjalankan usaha dagang dan pihak kedua sebagai
pengelola modal tersebut.[19]
Mudharabah biasanya
diterapkan oleh bank untuk usaha pembiaayan dan pendanaan. Pada sisi
penghimpunan dana diterapkan pada tabungan berjangka (misalnya tabungan haji,
tabungan kurban, dan sebagainya), deposito biasa dan deposito special (special investment). sedangkan pada sisi
pembiayaan dapat diterapkan pada modal kerja dagang atau jasa, investasi khusus
(mudhrabah muqayyadah).
Al
muzara’ah adalah kerjasama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dan penggarap, dimana mereka membuat kesepkatan
atas bagi hasil panennya. Sedangkan musaqah
adalah sipenggarap hanya mengarap dan memelihara saja dan dia berhak atas
nisbah tertentu dari hasil panen.
c.
Prinsip
Jual Beli (Sale and Purchase)
Dalam prinsip ini
digunakan prinsip bai al murabahah,
bai’ as salam, dan bai’ al
istishna.[20]
a. Bai’
Al Murabahah (Deferred Payment Sale)
Prinsip ini adalah jual
beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam
hal ini penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan
suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Biasanya konsep ini dipakai dalam
murabahah kepada pemesan pembelian (KPP).
b. Bai’
As Salam (in front payment sale)
Bai as salam merupakan
aktivitas pembelian barang yang yang diserahkan kemudian hari, sedangkan
pembayarannya dilakukan di muka.
Prinsip ini biasanya
dijalankan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek,
yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabe dan bank tidak berniat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan, dilakukan lah akad bai’ as
salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada bulog, pedagang pasar induk, atau
grosir. Istilah inilah yang disebut salam parallel.
c. Bai
al istishna (purchase by order
or manufacture)
Transaksi bai’ al
istshna merupakan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang. Dalam
kontrak ini, pembuat barang menerima pesanan dari pembeli. Pembuat barang lalu
berusaha melalui orang lain untuk membuat atau membeli barang menurut
spesifikasi yang telah disepakati dan menjualnya kepada pembeli akhir. Kedua
belah pihak sepakat atas harga serta sistem pembayaran, apakah pembayaran di
lakukan dimuka, melalui cicilan, atau ditangguhkan sampai suatu waktu pada masa
yang akan datang.
d.
Prinsip
Sewa (Operational Lease and Financial Lease)
1. Ijarah
(operational lease)
Prinsip ini adalah akad
pemindahan hak guna barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa
diikuti dengan pemindahan pemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang itu
sendiri.
2. Ijarah
muntahiyah bit tamlik (financial lease with purchase option)
Istilah ini dikenal juga dengan
istilah hire purchase, yang merupakan perpaduan antara kontrak jula beli dan
sewa atau sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan si penyewanya.
Sifat pemindahan kepemilikan ini pula yang membedakan dengan ijarah biasa.
Bank-bank islam yang
mengoperasikan sistem ijarah ini dapat melakukan leasing, baik dalam bentuk
operating lease maupun financial lease. Akan tetapi, pada umumnya, bank-bank
tersebut lebih banyak menggunakan ijarah muntahiyah bittamlik karena lebih
sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank pun tidak direpotkan untuk
mengurus pemeliharaan aset, baik pada saat leasing maupun sesudahnya.[21]
e.
Prinsip
jasa (fee based service)
Selain dari jenis-jenis
pembiayaan utama tersebut di atas, perbankan syariah juga menyelenggarakan
pelayanan dengan prinsip jasa dalam bentuk:
1. Al
wakalah (deputyship)
Wakalah adalah
penyerahan, pendelegasian, atau pemberian mandate. Atau akad pemberian kuasa
dari pemberi kuasa (muakkil) kepada kuasa (wakil) untuk melaksanakan suatu
tugas (taukil) atas nama muakkil.
2. Al
kafalah (guaranty)
Al kafalah merupakan
jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk
memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung. Dalam pengertian lain,
kafalah juga berarti mengalihkan tanggung jawab seseorang yang di jamin dengan
berpegang pada tanggung jawab orang lain sebagai penjamin.
3. Al
hawalah (transfer service)
Al hawalah adalah
pengalihan utang dari orang yang berutang kepada orang lain yang wajib
menanggungnya. Dalam istilah para ulama, hal ini merupakan pemindahan beban
utang dari muhil (orang yang berutang) menjadi tanggung jawab muhal ‘alaih atau
yang berkewajiban membayar utang.
Secara sederhana, hal
itu dapat dijelaskan bahwa A (muhal) member pinjaman kepada B (muhil), sedangkan B masih mempunyai
piutang pada C (muhal ‘alaih). Begitu B tidak mampu membayar utangnya kepada A,
ia lalu mengalihkan beban utang pada C. dengan demikian, C yang harus membayar
utang B ke A, sedangkan C sebelumnya pada B dianggap selesai.
4. Ar
rahn (mortgage)
Ar rhan adalah menahan
salah satu harta milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang yang ditahan tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan
demikian, pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil kembali
seluruh atau sebagian piutangnya. Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa rhan
adalah semacam utang atau gadai.
5. Al
qardh (soft and benevolent loan).
Al qardh adalah pemberian harta
kepada orang lain yang dapat ditagih atau diminta kembali atau dengan kata lain
meminjamkan tanpa mengharapkan imbalan. Dalam literatur fiqh klasik, qardh
dikategorikan dalam aqd tathawwui atau akad saling membantu dan bukan transaksi
komersial.
Demikian
penjelasan mengenai prinsip-prinsip dasar perbankan syariah, prinsip dasar ini
juga akan diwujudkan oleh bank dalam
bentuk produk dengan istilah yang sama pula. Intinya semuanya berdasarkan al
Qur’an dan Sunnah Rasul, tentu dengan beberapa modifikasi oleh para pakar ilmu
syariah.
BAB
III
PENUTUP
A.
Ksimpulan
Perbankan
syariah sebagaimana termaktub di dalam undang-undang No. 21 tahun 2008 tentang
perbankan syariah pasal 3 termaktub bahwa “perbankan syariah bertujuan
menunjang pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan,
dan pemerataan kesejahteraan rakyat” yang dalam penjelasannya pasal 3 dikatakan
dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional, peebankan
syariah tetap berpegang pada prinsip syariah secara kaffah dan konsisten.
filosofis
perbankan syariah sejalan dengan filosfis ekonomi syariah yang meliputi
beberapa unsur diantaranya adalah tauhid, keseimbangan (equilibrium), kebebasan, produktif, adil, memiliki akhlak dan
moralitas usaha, dan tanggung jawab.
Prinsip
perbankan syariah sebagaimana pasal 2 penjelasan Undang-undang No 21 Tahun 2008
yaitu: kegiatan usaha yang berasaskan prinsip syariah antara lain adalah
kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur Riba, Maisir, Gharar, Haram, Zalim,
dan didukung oleh Azaz utama kemitraan, keadilan, transparansi, dan universal,
Pelarangan riba, Tidak mengenal konsep time
value of money, Konsep uang
sebagai alat tukar bukan sebagai komoditas, Kegiatan tidak spekulatif, Tidak
boleh menggunakan dua harga untuk satu barang, Tidak boleh malakukan dua
transaksi dalam satu akad, Konsep bagi hasil, Tidak membedakan antara sector
moneter dan sector riil, Dapat memperoleh imbalan atas jasa perbankan lain yang
tidak bertentangan dengan prinsip syariah. Dan bank syariah juga menganut
demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Sedangkan wujud dari pada prinsip
utama tersebut adalah dalam bentuk prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan penyertaan modal (musyarakah), prinsip jual beli barang
dengan memperoleh keuntungan (murabahah),
atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan
pemindahan pemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtisna) sesuai dengan
Undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perbankan.
B.
Saran
Sebagai
upaya menegakkan nilai-nilai islam dalam kehidupan manusia sebagaimana di
kumandangkan oleh al Qur’an maka seyogyanya kita umat islam ikut mendukung akan
program bank syariah dan lembaga keuangan syariah lainnya. Salah satu wujud
support kita adalah dengan ikut andil berinvestasi di Bank syariah.
DAFTAR
PUSTAKA
Antonio,
Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: dari Teori ke Praktek, Jakarta: gema Insani
Haron,
Sudin. 1954. Islamic Finance and Banking
System. Malaysia: Sah Alam
Saeed,
Abdullah. 2004. Menyoal Bank Syariah.
Jakarta: Paramadina
Amin,
A Riawan. 2009, Menata Perbankan Syariah Di Indonesia, Jakarta: UIN Press
Chapra,
Umer. 2000. “system Moneter Islam,” Jakarta: Gema Insani Press
Haque,
Ataul. 1987, Reading in Islamic Banking. Dhaka:
Islamic Foundation
Ali,
Zainuddin, 2008. Hukum EKonomi Syariah.
Jakarta: Sinai Grafika
Undang-undang
No. 10. Tahun 1998 tentang perbankan
Undang-undang
No. 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah
Undang-undang
No. 7 tahun 1992 tentang Perbankan
Anshori,
Abdul Gofur. 2010. Hukum Perjanjian di
Indonesia. Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press
Hamsir.
2011. Hukum Ekonomi Islam Pada Perbankan
Syariah. Jakarta: ar Risalah
M.
Amin Aziz. 1996. Mengembangkan Bank Islam
di Indonesia. Jakarta: Bankit
[1] Rammal, H.G. Zurbruegg, R. “awareness of Islamic Banking Products Among
Muslims: The Case of Australia, dalam Journal
of Financial Services Marketing, (2007).
Hal. 65-74
[2] Zainuddin Ali, “Hukum Ekonomi
Syariah”, (Jakarta: Sinai Grafika, 2008), hal. 2
[3] Zainuddin Ali, “Hukum Ekonomi Syariah”,
(Jakarta: Sinai Grafika, 2008), hal. 3
[4] Zainuddin Ali, “Hukum Ekonomi
Syariah”, (Jakarta: Sinai Grafika, 2008), hal. 5
[5] Kasmir, “Bank Dan Lembaga Keuangan Lainnya”,
(Jakarta: PT. rajagrafindo persada, , 2002), hal 177
[6] Undang-undang No. 10 Tahun 1998
tentang perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992.
[7] Undang-undang No.21 tahun 2008
tentang Perbankan Syariah
[8] M. Amin Aziz, “Mengembangkan Bank Islam di Indonesia”
(Jakarta: Penerbit Bangkit, 1996) hal. 8
[9] Diambil dari beberapa pendapat.
[10] Hamsir, “Hukum Ekonomi Islam Pada Perbankan Syariah” (Ar
Risalah: Volum 11 nomor 1 Mei 2011)
[11] Q.S. Al Hadid: 7
[12] Abdul Ghofur Anshori, “hukum Perjanjuan Islam di Indonesia (konsep
regulasi dan implementasi),” (Yogyakarta: Gajah Mada Univ. Press, 2010),
hal.33
[13]
Yusuf Qhardawi (alih bahasa Didin Hafidhudin et,al), Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam, (Jakarta: Robbani
Press, 1997), hal. 396
[14]
Pasal I ayat 13 UU. No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
[15]
M. Syafi’I Antonio, “ Bank Syariah: dari
teori ke praktek,” (Jakarta: Gema Insani, 2001), hal 85
[16]
Ibid, hal 86
[17]
Ibid, hal 87
[18]
Muhammad Rawas Qal’aji “Mu’jam Lughat al
Fukaha,” (Beirut: darun Nafs, 1985), hal lihat juga dalam Syafii anotonio,
Op.cit, hal 95
[19]
Abdullah Saeed, “Menyoal Bank Syariah:
Kritik atas Interpretasi Bunga Bank Kaum Neo Revivalis” (Jakarta:
Paramadina, 2004), hal. 77, lihat juga Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah….,
hal. 95
[20]
Ataul Haque, “Reading in Islamic
banking,” (Dhaka: Islamic Foundation,
1987). Hal xx
[21]
Op.cit, hal 119