Penegasan asas legalitas lebih lanjut ditunjukan oleh ayat lain yang berbicara tentang pembatalan salah satu bentuk praktek perkawinan di masa pra Islam yaitu bilamana ada seorang ayah beristeri muda, setelah ia wafat, isteri mudanya menjadi rebutan anak laki-lakinya dari isteri yang tua.Ada dua cara yang dikenal waktu itu.Pertama, anak laki-laki yang paling berhak untuk menikahi janda muda ayahnya itu adalah anaknya yang tertua.Kedua, yang paling berhak adalah yang menang dalam undian dengan cara masing-masing melempar kain hitam kepada janda itu.Lemparan kain hitam siapa yang paling lebih dahulu mengenai wanita itu dan disambutnya secara baik, maka dialah yang paling berhak untuk menikahi janda ayah kandungnya itu.Praktek perkawinan seperti ini dikenal dengan istilah “zawaj al-maqti” yang kemudian diharamkan oleh ayat 22 surat an-Nisa yang artinya:” Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, kecuali pada masa yang telah lampau.Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci oleh Allah swt. Dan seburuk-buruk jalan yang ditempuh”.
Ayat tersebut diatas, memberikan pengecualian :……” illa maqad salafa (terkecuali pada masa yang telah lampau)”.Penggalan ayat inilah yang kemudian dijadikan alasan bahwa hukum tidak berlaku surut.Artinya, haram melakukan zawaj al-maqti yang ditegaskan dalam ayat tersebut, mulai berlaku semenjak ayat itu diturunkan, tidak berlaku pada masa sebelumnya.Orang-orang yang melakukan praktek perkawinan zawaj al-maqti sebelum turunnya ayat tersebut tidak dianggap melanggar hukum dan konsep inilah yang kemudian dikembangkan oleh para ulama sebagai asas legalitas dalam hukum Islam.
Namun dalam Islam asas legalitas tidak berlaku terhadap peristiwa hadist al-ifki (berita bohong) berupa tuduhan dari pihak yang tidak senang dengan perkembangan Islam bahwa Aisyah isteri Rasulullah sengaja tertinggal dari rombongan sehabis peperangan Bani al-Mushtaliq dengan maksud berbuat serong dengan Safwan.Berita itu selama sebulan berkembang dalam masyarakat, sedangkan Aisyah sendiri bungkam tanpa memberikan pembelaan terhadap dirinya.Dalam situasi demikian turunlah ayat yang menyatakan bahwa Orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina), dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera….”( Q.S an-Nur ayat 4,5,11 dan 12). Ayat ini berbicara teantang hukuman terhadap kejahatan qadaf yaitu menuduh orang baik-baik berbuat zina tanpa mampu mengajukan empat orang saksi.Yang perlu dicatat disini adalah ayat ini diturunkan setelah satu bulan adanya peristiwa tuduhan atas diri Aisyah.Namun ayat itu diberlakukan terhadap peristiwa berita bohong (hadist ifki) dimana semua orang yang menuduh Aisyah itu oleh Rasulullah saw. tetap dihukum dera delapan puluh kali
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar yang membangun yo