HUKUM ADAT, HUKUM ISLAM DAN HUKUM NEGARA DI MANDAILING NATAL
( Analisis Sejarah )
OLEH
J U R E I D
Npm: 08-02-116
Dosen Pembimbing
Drs. Kusor, Ms.i
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM MANDAILING NATAL
( STAIM MADINA )
T.A. 2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah-Nya kepada Penulis, sehingga Penulis mampu dan dapat menyelesaikan makalah ini dalam waktu yang relative singkat. Shalawat dan Salam kepada Baginda Rasul Muhammad SAW sebagai panutan dan penebar ilmu kepada kita.
Terimakasih kepada Ayah dan Ibu sebagai motivatorku sehingga penulis bertambah semangat dalam menyelesaikan ini semua.
Terimakasih kepada bapak Drs. Kusor, MS.i sebgai dosen pembimbing penulis dalam makalah ini.
makalah ini berjudul “ HUKUM ADAT, HUKUM ISLAM, HUKUM NEGARA DI MANDALING NATAL” yang mana banyak membicarakan sejarah dan hukum di Madina.
Penulis menyadari betapa banyak kekurangan dalam pembahsan makalah ini, baik dari sistematika, dan isi makalah. namun demikian penulis breharap dapat mewakili dalam menambah pengetahuan kita tentang Mandaling Natal tercinta ini. maklum makalah ini adalah makalah satu malam.
demkianpenulis sampaikan, Penulis ucapkan terimakasih
Panyabungan, 06 Desember 2011
Penulis
JUREID
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR............................................................................................... i
DAFTAR ISI............................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah................................................................................... 1
- Rumusan Masalah............................................................................................ 2
- Tujuan Penulisan. 2
BAB II MANDAILING NATAL
- Sejarah Mandaing Natal................................................................................... 3
BAB III HUKUM DIMANDAILING NATAL
A. Penerapan Hukum Adat Di Madina.................................................................. 9
B. Penerapan Hukum Islam Di Madina................................................................. 12
- Pandangan Sosiologi Terhadap Penerapan Hukum Adat, Islam
dan Hukum Negara di Mandailing Natal 14
BAB IV PENUTUP
A. Keismpulan...................................................................................................... 16
B. Saran............................................................................................................... 16
BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dimana pun manusia berada, dan membentuk tritory mereka sendiri, tentu tidak terlepas dari yang namanya aturan ataupun peraturan yang melekat dalam setiap sisi kehidupan mereka. hal yang paling dominant ada dan dijalankan oleh suatu kelompok,masyarakat, dan bangsa dari sekian aturan dan peraturan adalah Adat, Agama dan hukum yang di bentuk oleh penguasa mereka,dalam hal ini kita sebut Undang-Undang ( Hukum Positif/ Hukum Negara).
Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan) yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan–keputusan para penguasa adat.[1]
Hukum adat adalah hukum yang sebagian besar tidak tertulis dan merupakan asas-asas atau prinsip-prinsip yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat adat, untuk mengatur hubungan-hubungan antar anggota masyarakat dalam suatu pergaulan hidup.[2]
Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah.[3]
Hukum Positif adalah kumpulan asas dan kaidah hukum tertulis yang pada saat ini sedang berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara Indonesia. Pengertian hukum positif diperluas bukan saja yang sedang berlaku sekarang, melainkan termasuk juga hukum yang pernah berlaku dimasa lalu. Hukum yang pernah berlaku adalah juga hukum yang berlaku pada waktu tertentu dan tempat tertentu, sehingga termasuk pengertian hukum positif. Buku ini membahas berbagai pengertian umum dan seluk beluk sekitar hukum positif Indonesia.[4]
Ketiga hukum yang disebutkan diatas biasa kita temui penerapannya di Mandailing Natal yang merupakan salah daerah yang yang kaya akan ragam budaya. yang tentunya menyatu dengan adat, agama dan hukum sebagai pelindungnya. hukum adat di Mandailing Natal sangatlah beragam hal ini terutama dalam hal pernikahan dan pewarisan oleh keluarga-keluarga di Mandailing Natal. kemudian hukum islam merupakan hukum yang penerapannya sangat urgen dan di prioritaskan di Mandailing Natal, hal inilah yang mendorong penulis untuk membahas tentang HUKUM ADAT, HUKUM ISLAM DAN HUKUM NEGARA DI MANDAILING NATAL ( Analisis Sejarah )
- Rumusan Masalah
Adapun Rumusan Masalah yang ibahas dalam makalah ini adalah:
- bagaimana penerapan hukum adat di Mandailing Natal?
- bagaimana penerapan hukum islam di Mandailing Natal?
- bagaimana penerapan hukum Negara di Mandailing Natal?
- Tujuan Penulisan
adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk:
- untuk mengetahui hukum adat di Mandailing Natal.
- untuk mengetahui penerapan hukum islam di Mandailing Natal.
- untuk mengetahui penerapan hokum Negara di Mandailing Natal.
BAB II
MANDALING NATAL
- Sejarah Mandailing Natal
a. leksikon
Mandailing dalam bahasa Minang berasal dari dua kata, mande dan hilang yang digabung menjadi mandehilang bermaksud ibu yang hilang dan kemudian berubah tutur menjadi sekarang. Selain itu, Mandailing atau Mandahiling bisa juga berasal dari kata Mandala dan Hiling atau Holing, yang artinya pusat negeri Kalinga atau Kalingga. Kalingga sendiri berasal dari kata Sanskrit Lingga, yang berarti lelaki dan imbuhan ka atau ha, menjadi Kalingga atau Halingga, yang berarti 'kelelakian'.[5]
Nama Mandailing pertama kali ditemukan dalam buku Nagarakertagama. Buku itu ditulis oleh Mpu Prapanca di masa pemerintahan Majapahit.
Buku itu menceritakan adanya usaha perluasan kerajaan Majapahit ke wilayah Sumatera pada abad ke-14. Atau sekitar tahun 1365 Masehi.
Dikisahkan bahwa wilayah Mandailing pada masa itu masih beragama Hindu dan memuja dewa Siwa. Kerajaan Majapahit kemudian menyerang Pariaman dan Mandailing. Diduga penduduk lari ke pedalaman. Tapi di abad ke-14 marga Pulungan telah mendirikan tiga buah Bagas Godang, dan marga Nasution mendirikan kerajaan besar di Panyabungan yang menguasai Mandailing Godang.
Buku itu menceritakan adanya usaha perluasan kerajaan Majapahit ke wilayah Sumatera pada abad ke-14. Atau sekitar tahun 1365 Masehi.
Dikisahkan bahwa wilayah Mandailing pada masa itu masih beragama Hindu dan memuja dewa Siwa. Kerajaan Majapahit kemudian menyerang Pariaman dan Mandailing. Diduga penduduk lari ke pedalaman. Tapi di abad ke-14 marga Pulungan telah mendirikan tiga buah Bagas Godang, dan marga Nasution mendirikan kerajaan besar di Panyabungan yang menguasai Mandailing Godang.
Suku-bangsa Mandailing bermukim di pedalaman pesisir pantai barat daya pulau Sumatra dan wilayah pemukiman mereka itu di sana dikenal dengan berbagai nama sebutan yaitu Tano Sere, Tano Rura, Luat Mandailing atau Banua Mandailing yang memiliki batas-batas wilayah tertentu. Secara tradisional orang Mandailing membagi wilayah pemukiman mereka menjadi dua bahagian utama yaitu Mandailing Godang dan Mandailing Julu. Sebelum proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945, wilayah Mandailing Godang berada dibawah kekuasaan raja-raja bermarga Nasution, sedangkan wilayah Mandailing Julu dikuasai dan diperintah oleh raja-raja bermarga Lubis. Di samping marga Lubis dan Nasution terdapat pula marga-marga lainnya seperti Pulungan, Rangkuti, Parinduri, Batubara, Daulae, Matondang, dan sebagainya. . Sekalipun marga-marga ini berbeda masuknya ke Mandailing, tetapi tidak ada yang mau disebut sebagai warga pendatang.
Di sebelah utara, Mandailing berbatas dengan Angkola yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Simarongit di Desa Sihepeng. Sedangkan perbatasannya dengan Padang Bolak berada di suatu tempat bernama Rudang Sinabur. Di sebelah barat Mandailing terletak wilayah Natal yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Lingga Bayu. Sebelah selatan wilayah Mandailing berbatas dengan Pasaman (Sumatera Barat) yang perbatasannya terletak di suatu tempat bernama Ranjo Batu. Namun batas wilayah Mandailing dengan wilayah sebelah timur tidak diketahui karena tidak pernah disebut-sebut orang. tapi ada juga yang menyebutkan nya samudra hindia.
Seperti halnya suku-suku bangsa lain di Nusantara, orang Mandailing juga memiliki aneka ragam musik tradisional yang keadaannya sangat memprihatinkan di era globalisasi ini karena semuanya sudah berada di ambang kepunahan.
b. Kerajaan Mandailing
Kapan kerajaan Mandailing mulai berdiri tidak dapat dipastikan. Tetapi reruntuhan candi di Simangambat diyakini sudah dibangun pada abad ke-8.
Selain itu, kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan-catatan Cina pada abad ke-5 masehi. Mandailing, Pane, dan Padang Lawas sering disebut-sebut secara bersamaan dalam beberapa buku. Karena itu, ada keyakinan bahwa kerajaan Mandailing sudah ada paling tidak sejak abad ke-6.
Selain itu, kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan-catatan Cina pada abad ke-5 masehi. Mandailing, Pane, dan Padang Lawas sering disebut-sebut secara bersamaan dalam beberapa buku. Karena itu, ada keyakinan bahwa kerajaan Mandailing sudah ada paling tidak sejak abad ke-6.
c. Masuknya Agama Hindu
Agama Hindu masuk ke Mandailing dibawa oleh suku bangsa lain yang ingin mencari emas. Sebab, pada saat itu Pulau Sumatera terkenal dengan nama Swarna Dwipa atau Pulau Emas. Mereka diduga datang dari Kerajaan Kalingga di India. Kita menyebutnya orang Koling. Orang Koling masuk melalui muara Sungai Batang Gadis di Singkuang. Pelabuhan Singkuang pada saat itu sudah terkenal sebagai pelabuhan penting dan banyak dikunjungi pedagang-pedagang dari Cina. Bahkan nama Singkuang diyakini juga berasal dari bahasa Cina, yang berarti dermaga.
d. Sistem Pemerintahan Tradisional
Pada awal masuknya kolonialisme, sebagian besar penduduk Mandailing Natal telah menganut agama Islam. Islam diduga masuk dari arah Pesisir Tapanuli. Tetapi ada juga minoritas penganut kristiani yang bermukim di wilayah Pakantan, MandailingJulu. Mandailing diperintah oleh raja yang bersifat turun-temurun. Raja terbagi atas beberapa tingkatan:
1) Raja Panusunan, yaitu raja tertinggi yang menguasai beberapa kesatuan huta.
2) Raja Ihutan, raja yang menguasai beberapa huta di bawah Raja Panusunan.
3) Raja Pamusuk, raja yang memimpin satu huta di bawah Raja Ihutan.
4) Raja Sioban Ripe, raja yang memimpin satu pagaran, satu kawasan kecil yang belum memenuhi syarat sebagai huta. Raja ini dibawah kekuasaan Raja Pamusuk.
5) Suhut, pemuka adat yang berada di bawah raja Pamusuk dan Raja Sioban Ripe.
2) Raja Ihutan, raja yang menguasai beberapa huta di bawah Raja Panusunan.
3) Raja Pamusuk, raja yang memimpin satu huta di bawah Raja Ihutan.
4) Raja Sioban Ripe, raja yang memimpin satu pagaran, satu kawasan kecil yang belum memenuhi syarat sebagai huta. Raja ini dibawah kekuasaan Raja Pamusuk.
5) Suhut, pemuka adat yang berada di bawah raja Pamusuk dan Raja Sioban Ripe.
Huta merupakan satu kawasan yang sudah memiliki dalihan natolu, namora na toras, suhu, bayo-bayo, ulubalang, datu, sibaso, sopo godang. Jika syarat tersebut belum terpenuhi, maka kawasan itu hanya disebut pagaran. Disebut pagaran karena tanahnya yang sempit dan penduduknya masih sedikit. Misalnya, Pagaran Sigatal, Pagaran Tonga. Pagaran yang tumbuh dan berkembang dapat menjadi Lumban. Misalnya Lumban Pasir. Jika penduduknya lebih kecil lagi dari Pagaran, disebut dengan Banjar. Misalnya, Banjar Sibaguri. Raja Panusunan di Mandailing Godang berasal dari satu keturunan marga Nasution yang berkuasa di 9 wilayah, yakni:
1. Panyabungan Tonga
2. Huta Siantar
3. Pidoli Dolok
4. Gunung Tua
5. Gunung Baringin
6. Panyabungan Julu
7. Maga
8. Muarasoma/Muara Paralampungan
9. Aek Nangali.
2. Huta Siantar
3. Pidoli Dolok
4. Gunung Tua
5. Gunung Baringin
6. Panyabungan Julu
7. Maga
8. Muarasoma/Muara Paralampungan
9. Aek Nangali.
Raja Panusunan di Mandailing Julu berasal dari marga Lubis. Mereka memerintah di enam wilayah, yakni:
1. Singengu
2. Sayur Maincat
3. Tambangan
4. Manambin
5. Tamiang
6. Pakantan.
1. Singengu
2. Sayur Maincat
3. Tambangan
4. Manambin
5. Tamiang
6. Pakantan.
e. Masuknya Belanda
Tidak jauh berbeda dengan daerah lain, kolonial Belanda masuk ke wilayah ini karena ingin menguasai kekayaan alamnya yang melimpah. Setelah Belanda menduduki Mandailing tahun 1833, mereka kemudian melakukan perubahan atas kedudukanraja.Perubahanituantaralain:
1. Raja Panusunan diganti dengan Kepala Kuria
2. Raja pamusuk diganti menjadi Kepala Kampung
3. Raja Ripe menjadi Kepala Ripe.
Jika sebelumnya raja hanya memiliki fungsi adat, mereka kemudian diberi kedudukan sebagai kepala pemerintahan. Barulah pada tahun 1947, Residen Tapanuli ketika itu, Dr. FL Tobing, menghapuskan kedudukan kuria itu dan menggantinya dengan Dewan Negeri. Masuknya Islam ke Mandailing Natal Sebagaimana kepercayaan di wilayah Sumatera Utara lain, penduduk Mandailing masih percaya pada kekuatan si PeleBegu. Kepercayaan ini erat kaitannya dengan sistem kepercayaan dalam agama Budha dan Hindu yang memang ditemukan pengaruhnya di sekitar Mandailing Negara di Mandailing Natal Negara di Mandailing Natal Negara di Mandailing Natal Negara di Mandailing Natal Negara di Mandailing Natal Negara di Mandailing Natal Negara di Mandailing Natal Godang. Masa sebelum masuknya Islam disebut dengan masa kegelapan (na itom na robi). Mandailing percaya kepada kekuatan spritual Sibaso dan Datu. Datu dianggap orang yang memiliki pengetahuan khusus. Misalnya pengetahuan tentang kapan mulai bercocok tanam, menentukan hari pernikahan, menghindari bahaya, dan lain-lain. Dalam konsep modern, datu berarti orang memiliki pengetahuan medis tradisional.
Jejak Hindu di Mandailing tampak dari reruntuhan candi di Simangambat Kec. Siabu dan Saba Biara di Panyabungan. Candi itu diperkirakan berasal dari abad ke 8 dan 9 Masehi. Relief dan ornamennya menyerupai candi-candi di Jawa Tengah. Atau Pilar Batu di desa Maga yang bertuliskan aksara Jawa Kuno bertanggal 9-9-1242. Masuknya Islam ke Mandailing tidak dapat dilepaskan dengan Perang Paderi (1821-1838). Masuknya pasukan Paderi dari Sumatera Barat telah mendorong perubahan sosial dalam tatanan masyarakat Mandailing. Sebelumnya memang sudah ada beberapa orang Mandailing yang belajar Islam di Bonjol. Tetapi ketika pasukan Paderi masuk, mereka melakukan peng-Islam-an lagi secara besar-besaran. Kelompok Paderi ini sangat dipengaruhi oleh konsep ideologi Arab. Mereka sering disebut dengan “Orang Putih.” Kelompok Paderi ini memiliki pola tingkah laku tertentu. Dja Endar Moeda, misalnya, salah seorang penulis buku tentang Mandailing.
di abad ke-20, mengatakan bahwa:“Adapoen orang poetih itu tiada boleh merokok, makan sirih, menjaboeng. Segala perempoean bertoetoep muka. Segala orang jang melanggar peratoeran ini, dihoekoemnya dengan hoekoeman seksa yang amat berat.” Sikap keras seperti itu tentu saja mendapat perlawanan dari raja-raja Mandailing ketika itu yang masih didominasi tatanan tingkah laku adat. Perlawanan dilakukan oleh paksi pro-Adat, Patuan Naga dan Raja Gadombang. Patuan Naga adalah Radja Panoesoenan di Panyabungan, Mandailing Godang. Raja Gadombang, Raja Huta na Godang. Tetapi dua tokoh penting Padri ketika itu yang membawahi Mandailing, Tuanku Tambusai (Pakih Saleh) dan Tuanku Rao, membalas dengan melakukan penyiksaan bagi mereka yang menolak tata hidup yang dibawa Paderi. Selain dipengaruhi ideologi “jihad” yang mereka ambil dari Arab, kelompok Paderi ini juga membawa nilai-nilai kemerdekaan dan antikolonialisme. Selama Perang Paderi, Tuanku Tambusai, setelah pulang dari Mekah mengajarkan Islam di wilayah Padang Lawas, Padang Bolak, Sipirok, dan Mandailing. Tahun 1995, Tuanku Tambusai diangkat sebagai Pahlawan Nasional.
Tuanku Rao mengganti namanya menjadi Pakih Muhammad. Ia merupakan Imam Besar di Rao, diyakini merupakan keturunan Lubis dari Hutagodang.
Selama satu dekade, Paderi mendominasi wilayah Mandailing melalui kekuasaan qadi. Kekuasaan qadi merupakan bentuk yang sangat efektif untuk menunjukkan bentuk pemerintahan Islam ketika itu. Qadi bukan sekedar membawa pengaruh nilai-nilai islam, tetapi juga memiliki pengaruh sosial-ekonomi dan politik. Dengan gelar haji, mereka identik dengan seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan mampu membawa nilai-nilai persaudaraan Islam (ummah) di Mandailing dengan dunia Arab secara luas. Mereka juga membawa budaya Islam ke Mandailing. Jika di Minangkabau Paderi membawa konsep Adat Basandi Syarak, maka di Mandailing diubah menjadi Ombar adat dohot ugamo. Konsep ini yang menjadi cikal bakal konsep Islam Mandailing sampai saat ini. Orang-orang mulai mengalihkan nama-nama tradisionalnya dengan nama-nama yang berbau Arab. Sejak saat itu, marga dinilai tidak begitu penting lagi di wilayah Mandailing, karena lebih mementingkan nilai-nilai persaudaraan muslim. Periode Padri ini di Mandailing disebut dengan maso di na rinca (Periode Tuanku Nan Renceh), nama salah seorang pemerintahan Padri di Mandailing.
Selama satu dekade, Paderi mendominasi wilayah Mandailing melalui kekuasaan qadi. Kekuasaan qadi merupakan bentuk yang sangat efektif untuk menunjukkan bentuk pemerintahan Islam ketika itu. Qadi bukan sekedar membawa pengaruh nilai-nilai islam, tetapi juga memiliki pengaruh sosial-ekonomi dan politik. Dengan gelar haji, mereka identik dengan seseorang yang memiliki pengetahuan agama yang luas dan mampu membawa nilai-nilai persaudaraan Islam (ummah) di Mandailing dengan dunia Arab secara luas. Mereka juga membawa budaya Islam ke Mandailing. Jika di Minangkabau Paderi membawa konsep Adat Basandi Syarak, maka di Mandailing diubah menjadi Ombar adat dohot ugamo. Konsep ini yang menjadi cikal bakal konsep Islam Mandailing sampai saat ini. Orang-orang mulai mengalihkan nama-nama tradisionalnya dengan nama-nama yang berbau Arab. Sejak saat itu, marga dinilai tidak begitu penting lagi di wilayah Mandailing, karena lebih mementingkan nilai-nilai persaudaraan muslim. Periode Padri ini di Mandailing disebut dengan maso di na rinca (Periode Tuanku Nan Renceh), nama salah seorang pemerintahan Padri di Mandailing.
BAB III
HUKUM DI MANDAILING NATAL
A. Penerapan Hukum Adat Di Madina
Sebagaimana kita ketahui salah satu dari visi dan misi pemerintah kabupaten Mandailing Natal adalah untuk memlestarikan adat dan budaya Mandailing Natal yang cukup kaya ragammnya. hali ini dapat kita buktikan dengan kitipan dalam rencana tersebut yaitu “ adat –istiadat dan kebudayaan Mandailing Natal harus dilestarikan, sedangkan sedangkan tradisi yang bertentangan dengan agama haruslah di tolak. pembangunan dalam bidang ini harus dapat digerakkan melalui lembaga adat sekaligus sebagai sarana mentransformmasikan kepentingan pembangunan”.
adat Mandailing Natal ini sangat baik penerapannya, kita dapat memulai dengan langgam bahasa orang Mandailing Natal yang sangat lemah lembut dan berirama yang diucapkan dengan nada rendah.
langgam bicara orang Mandailing Natal disebut dengan pantis, irama dan intonasinya disebut landung, cara bertutur seperti ini merupakan pengaruh lingkungan mandailing yang sangat subur, banyak pohon dan kurang berangin. sehingga dengan suara yang bernada rendah saja sudah cukup unutk berbicara danbahkan unutk memangil orang dikejauhan. langgamnya disebut juga dengan istilah lambok mangalangoi, lemah lembut namun melangu. sangat bergaya diplomatis, perasa dengan timbang rasa yang kuat. langgam ini sering kita dengar ketika da siriaon dan siluluton.[6]
Mandailing Natal juga kaya akan ragam seni salah satunya adalah ende-ende, yang disebtu juga dengan sitogol, penulis mengutip ende yang ditulis oleh Nahum Situmorang, berjudul sitogol sebgai bukti keberadaan ende-ende mandina.
“ adong endeku najeges dabo
huoban tingon mandailing godang do
jeges logu na botoon momo
sitogol goarna sitogol dabo”
tingon mandailing godang do
asal mulani sitogol dabo
bope marsak margumbira ho
marsitogol sitogol sitogol dabo”
selain itu ada juga bebrapa ende yaitu;
“gambir ni naga sontang
dumarondom bona ni bulu
matanta pe nian patontang
dung ma sombu halulungun”
ambasang ni si pajao
dirombar kodong do lidina
pamatang padao-dao
di hombar modom do tondina”
( sekalipun berjauhan, namun ruh orang yang dicintai tetap tidur bersamanya)
“ udon do huali
pardahanan tu barumun
huahua do ulani
pangantak ni namalungun”
didok ko naso adong sorkamu
moldop do mata incirmu
didok ko naso adong rohamu
moncong do panailimu”
selain itu ada juga adat budaya musical, yaitu gondang sambilan, sedikit ulasan tentang sejarah gordang sambilan, bahwa dahulu kala leluhur orang mandailing bermukim di bukit barisan yang berbukit dan berlembah, dengan sungai-sungai besar dan kecil. selama pengembaraan dan menetapnya mereka mengalami banyak tantangan dan rintangan yang dating dari keganasan alam liar dan binatang buas, ditambah lagi hama yang terus mengancam ladang-ladang mereka. dengan keyakinan bahwa baik buruknya alam tergantung pada manusia itu sendiri, mereka percaya bahwa setiap benda memiliki tondi, mereka memilki kiat-kiat yang khas dalam memelihara tondi itu. sehingga mereka membuat berbagai alat yang meniru suara alam sperti bamboo, kayu kulit dan lain-lain. sehingga lebih berkembangnya pengetahuan terciptalah gordang sambilan.
gordang sambilan menjadi symbol kepemimpinan. jumlah gordang sambilan pada awalnya berjumlah delapan yang menjadi symbol unsure kemasyarakatan. yaitu:
1. Datu seorang yang berpengalaman luas, bijaksana, sebagai pemimpin yang disebut natobang
2. natoras sebagai wakil
3. harajaon sebagai kelompok raja-raja.
4. kapala ripe, sebagai ketua kelompok didalam masyarakat
5. uluan sebagai sebagai mora( dari istri )
6. talaga, sebagai wife taker
7. ulu balang
8. suruonkonon, termasuk dalam kelompok anak boru
masing-masing fungsionaris pemimpin masyarakat itu memiliki gordang yang bernada suara tertentu. setelah kepemimpinan masyarakat sudah dibentuk, masyarakat merasa perlu untuk memiliki pemimpin tertinggi yang memimpin kedelapan fungsionaris itu. maka dipilih lah raja panusunan bulung, dengan adanya Panusunan Bulung maka dibuat pulalah gordang terakhir yaitu Gordang Sambilan.
komponen gordang itupun diberi nama satu-persatu dan ditetapkan siapa yang berhak menabuhnya. sebagai berikut:
1. dua gordang yang paling besar disebut jangat, ditabuh oleh Panusunan Bulung dan gordang sibaso ( gordang hadatuon ), ditabuh oleh datu parmong-mong.
2. dua hudong-kudong yang ditabuh oleh kahanggi raja.
3. dua gordang panulus yang ditabuh oleh anak boru.
4. dua gordang padamoskan yang ditabuh oleh pisang raut
5. satu gordang eneng-eneng oleh naposo Bulung.
demikian lah gordang sambilan yang sampai sekarang masih dilestarikan oleh orang Mandailing Natal, dan sering laki dipakai unutk upacara adat oleh raja-raja dan di pesta penikahan.
susunan masyarakat Mandailing Natal terikat juga pada kekerabatan patrilineal Dalihan Na Tolu ( DNT) yang terdiri dari kahanggi, mora dan anak boru.
kahanggi ialah kerabat menurut garis laki-laki dair keturunan cikal bakal laki-laki pula. atau disebut juga dongan sabutuha. mora ialah kelompok kerabat yang melahirkan istri, atau kerabat pemberi istri( wife giver = hula-hula), anak boru yaitu kerabat yang mengambil istri ( wife taker)[7]
demikian juga dengan adat pernikahan yang disebut mambuat boru atau pe marbagas, selalu diterapkan adat manyapai dan Patibal Sere, dan marsipulut sebelum pelaksanaan perkawinan tersebut. yang diselenggrakan oleh ketiga komponen Dalihan Natolu tersebut. masih banyak sekali adat Mandailing Natal yang mungkin bias kita tahu dari kehidupan nyata kita.
B. Penerapan Hukum Islam di Mandailing Natal
Mandailing Natal disebut juga sebagai Serambi Mekah, hal ini didasarkan kepada banyaknya Ulama Besar di Daerah Mandailing Natal yang melakukan dakwah agama islam. Hal ini juga didukung dengan banyaknya sekolah yang berbau pesanteren. salah satu pesantren yang sangat terkenal di Mandailing Natal adalah Musthafawiyah Purba Baru, sekolah ini telah banyak mencetak ulama terkenal hingga ke timur tengah dan Negara Negara lainnya. seperti syekh junaid thola, hollad batubara yang sekrang tinggal di mekkah, syekh Mustafa sebgai pendiri, dan syekh yang lain yang tidak bias disebutkan satu per satu,
hal ini menunjukan bahwa Mandailing Natal sangat kuat dan kental nilai dan pengamalan hokum islamnya.
Jangan lupa menunaikan sholat lima waktu sehari semalam. nasehat ini menggambarkan betapa masyarakat Mandailing Natal adalah masyrakat yang religius. hal ini didukung data bahwa orang mandailimg natal rajin sholat, selain itu kita lihat masyarakatnya yang sangat relijius, mereka memiliki nilai kebersamaan yang sangat erat dilihat dari jamaah yang dilaksanakan tiap sholat. Pengajian Ibu-ibu dan Wirid Yasin setiap malam jumat dan malam lain sesuai ketentuan masing-masing persatuan.
tidak kalah penting yang harus kita lihat sebagai pemicu penrapan nilai dan hokum islam di madina adalah Perda Mandailing Natal. yang pertama adalah Perda nomor 5 tahun 2003, tentang pandai baca huruf al-qur’an bagi murid sekolah dasar, sekolah lanjutan pertama sekolah lanjutan atas dan calon pengantin, merupakan salah satu landasan kebijakan pembangunan masyarkat madani religius. kedua adalah Perda busana muslim, jilbab adalah suatu pakaian yang longgar yang menutupi seluruh badan kecuali muka dan tapak tangan. jilbab merupakan benteng lahiriah yang kuat untuk melindungi kaum mukminin.
Dalam mewujudkan suasana kehidupan masyarakat yang mencerminan keperibadian muslim dan muslimah serta dalam upaya mewujudkan masyarakat kabupaten madina yang beriman dan bertaqwa, maka PEMKAB Madina perlu menetapakan Perda tentang berpakaian muslimah dengan mengelurakan Perda No. 6 Tahun 2003.
Ada beberapa konsiderans yang menjadi penetapan Perda ini, antaralain pasal 29 ayat (2) Undang-undang Dasar 1945, dan salah satu perwujudan pelaksanaan ajaran agama islam, adalah cermin dari pakaiannya dalam kehidupan sehari-hari. menutup aurat adalah wajib hukumnya. dan sejumlah peraturan perundangan yang berlaku.
Dalam pasal 2 ayat ini ditegaskan bahwa maksud berpakain muslim dan muslimah bagi masyarakat adalah untuk mengagambarkan seseorang atau masyarakat yang beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT serta taat mengamalkan agama islam sekaligus melestarikan pakaian adat. ada empat tujuan berpakaian muslim dan muslimah yang disebutkan dalam pasal 3, yaitu: 1). membentuk sikap sebagai orang muslim dan muslimah dan berakhlak mulia. 2). membiasakan diri berpakaian muslim dan muslimah dalam kehidupan sehari-hari dalam kehidupan keluarga maupun dihadapan masyarakat umum. 3). menciptakan masyarakat yang mencintai budaya islam dan budaya Mandailing Natal. 4). melestarikan fungsi adat sesuai dengan Mandailing Natal.
Pada pasal 4 disebutkan bahwa fungsi berpakaian muslim dan muslimah adalah untuk menjaga kehormatan dan harga diri, sebagai identitas muslim dan muslimah serta menghindari kemungkinan terjadinya ancaman dan gangguan dari pihak lain.
Kewajiban memakai pakaian muslim dan muslimah ditetapkan dalam pasal 5 yang berlaku bagi setiap karyawan dan dan anak sekolah, sedangkan untuk umum hanya bersifat himbauan.
Hal ini diatur ketika diinstansi, sekolah, dan tempat resmi lainnya, sedangakan untuk umum dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu, ada lagi Perda Pemberantasan Maksiat Nomor 7 Tahun 2003 tentang pencegahan dan pemberantasan penyakit masyarakat.
Jenis perbuatan maksiat yang di dalam Perda ini adalah sikap tindak yang merusak sendi-sendi kehidupan social kemasyarakatan dan melanggar norma-norma agama dan adat baik yang telah diatur Perundang-undangan maupun belum.
Ada lima perbuatan maksiat yang dimaksudkan dalam Perda ini ialah, 1). Perzinaan, 2). Perjudian, 3). Minuman Keras, 4). Penyalah gunaan Narkotika dan psikotropika serta obat-obat terlarang, dan 5). penerbitan dan penyiaran yang merangsang untuk berbuat maksiat. dan maksiat lain yang dilarang.
C. Pandangan Sosiologi Terhadap Penerapan Hukum Adat, Islam dan Hukum Negara di Mandailing Natal
Sosiologi hokum sebagai system yang mengkaji masalah social dan hokum dan bagaimana keduanya berbarengan, tentu kita dapat melihat bagaimana sosiologi hokum mamandang penerapan ketiga hokum tersebut di atas.
berdasarkan kajian diatas hokum di Mandailing Natal sangat mendukung dan berbarengan dengan sosiologi hokum, tidak ada sama sekali paksaan dalam penerapannya, selalu diberikan dua pilihan terhadap masyarakat dalam menjalankan ketiga hokum tersebut. apakah adat, islam, atau hokum Negara, namun tidak berarti bertentangan. karena bila bertentangan selalu di eliminasi oleh Masyarakat maupun Pemerintah Daerah.
salah satu buktinya adalah perda pakaian muslim yang sanksinya tidak memberatkan pihak manapun terutama masyarakat pada umumnya.
Antara ketiga hukum tersebut juga tidak ada berbenturan dan mengesampingkan satu sama lain. bahakan saling mengisi dan saling mendukung. jelas kita lihat dari prosesi nikah yang dibarengi dengan hatam Al-qur’an yang berbau hokum islam dan Perda wajib baca Qur’an sebagai hokum Negara.
BAB IV
PENUTUP
- Kesimpulan
Mandailing Natal sebagai daerah serambi mekah telah banyak memberikan kontribusi buakn hanya teerhadap perkembangan dan kemajuan bagi masyarakatnya tetapi juga kepada daerah luar Mandailing Natal.
telah banyak Mandailing Natal mecetak ulama dan tidak itu saja, nilai agama islam sangat kental dan menjadi salah satu tolak ukur bagi masyarakat untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyrakatnya.
Didukung pula oleh perda yang sangat mendukung pengamalan nilai-nilai island tersebut. sehingga semakin terjamin kebebasan mengamalkan agama islam itu sendiri.
hokum adat,ukum islam,dan hokum Negara diMandailing Natal berjalan berdampingan dan saling mendukung satu sama lain. tidak adayang bertenangan dalam pengamalannya.
- Saran
Bagi kita sebagai masyarakat madina yang madani mari kita tingkatkan prestasi dalam islam dan dukunglah pemerintah kita membuat Perda baru yang bernilai Islam demi kemajuan Mandailing Natal yang religius dan bermartabat.
Islam harus jaya di Mandaling Natal tanpa meninggalkan adat istiadat kita.
[1] http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011
[2] Ibid
[3] saibah, S Ag, Diktat Ushul Fiqh, ( Panyabungan: STAIM, 2009 ), h. 4
[4]Loc.Cit http://pengertian-definisi.blogspot.com/2011
[5] askolani, kabag humas DPRD Mandailing Natal
[6] Basyiral Hamidy Harahap, Madina Yang Madani, ( Jakarta: PEMKAB Madina. 2004) h. 124.
[7] Data Musrenbang RPJMD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
komentar yang membangun yo