Salah satu fenomena yang terjadi dewasa ini adalah maraknya
pernikahan ‘jalan pintas’ ( nikah sirri ) dimana seorang wanita yang
telah dewasa manakala tidak mendapatkan restu dari kedua orangtuanya
atau merasa bahwa orangtuanya tidak akan merestuinya; maka dia lebih
memilih untuk menikah tanpa walinya tersebut dan berpindah tangan kepada
para penghulu bahkan kepada orang ‘yang diangkat’ nya sendiri sebagai
walinya. Hal ini dilakukan dalam rangka upaya untuk menghindari
perzinaan.
Keberadaan wali dalam suatu pernikahan merupakan perkara khilafiyah
( berbeda pendapat ) dikalangan para ulama mazhab, artinya seorang
muslim boleh dan tidak tercela mengambil atau berpegang kepada salah
satu dari dua pendapat tersebut tanpa saling menyalahkan, tentunya
dengan landasan ilmu dan pemahaman bukan sekedar ikut-ikutan ;
1. Jumhur (mayoritas-kebanyakan) ulama mazhab menyatakan bahwa wali
dalam pernikahan adalah rukun nikah. Artinya tidak sah nikah tanpa wali.
Berdasarkan beberapa hadits ; Dari Abu Burdah, dari Abu Musa dari
ayahnya –radliyallâhu ‘anhuma-, dia berkata, Rasulullah Shallallâhu
‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan
wali.” Dalam hadits lain ; Dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ :
“Tidak (shah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan dua orang
saksi.” Dan dari ‘Aisyah radliyallâhu ‘anha, dia berkata, Rasulullah
Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam bersabda, “Siapa saja wanita yang menikah
tanpa idzin walinya, maka pernikahannya batil; jika dia (suami) sudah
berhubungan badan dengannya, maka dia berhak mendapatkan mahar sebagai
imbalan dari dihalalkannya farajnya; dan jika mereka berselisih, maka
sultan (penguasa/hakim dan yang mewakilinya-red.,) adalah wali bagi
orang yang tidak memiliki wali.”
Hadits pertama dari kajian ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan empat
Imam hadits, pengarang kitab-kitab as-Sunan (an-Nasaiy, at-Turmudziy,
Abu Daud dan Ibn Majah). Hadits tersebut dinilai shahîh oleh Ibn
al-Madiniy dan at-Turmudziy serta Ibn Hibban yang menganggapnya memiliki
‘illat (cacat), yaitu al-Irsal (terputusnya mata rantai jalur
transmisinya setelah seorang dari Tabi’in, seperti bila seorang Tab’iy
berkata, “Rasulullah bersabda, demikian…”).
Hadits kedua dari kajian ini diriwayatkan juga oleh Imam Ahmad dari
al-Hasan dari ‘Imran bin al-Hushain secara marfu’ (sampai kepada
Rasulullah). Menurut Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdurrahman al-Bassam,
kualitas hadits ini adalah Shahîh dan dikeluarkan oleh Abu Daud,
at-Turmudziy, ath-Thahawiy, Ibn Hibban, ad-Daruquthniy, al-Hâkim,
al-Baihaqiy dan selain mereka. Hadits ini juga dinilai shahîh oleh Ibn
al-Madiniy, Ahmad, Ibn Ma’in, at-Turmudziy, adz-Dzuhliy, Ibn Hibban dan
al-Hâkim serta disetujui oleh Imam adz-Dzahabiy.
Sedangkan hadits yang ketiga dari kajian ini, kualitasnya adalah
Hasan. Hadits tersebut dikeluarkan oleh Imam Ahmad, asy-Syafi’iy, Abu
Daud, at-Turmudziy, Ibn Majah, ad-Daruquthniy, al-Hâkim dan al-Baihaqiy
serta selain mereka dari jalur yang banyak sekali melalui Ibn Juraij
dari Sulaiman bin Musa dari az-Zuhriy dari ‘Urwah dari ‘Aisyah. Rijâl
(Para periwayat dalam mata rantai periwayatan) tersebut semuanya Tsiqât
dan termasuk Rijâl Imam Muslim.
2. Sebagian Ulama menyatakan bahwa wali tidak menjadi syarat
atau rukun sebuah pernikahan. Artinya pernikahan dianggap sah walau
tanpa wali apabila wanita yang akan menikah tersebut sudah dewasa (
janda atau perawan ). Dan Pendapat ini dipegang oleh Imam Abu Hanifah.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan
bahwa hadits ini ( Larangan nikah tanpa wali ) tidak sunyi dari
pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad.
Dua orang ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan
Shu`bah ibn al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang
perawi bernama Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis
seperti yang disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat
al-Bayhaqi semua perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu
Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat
seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis.
Ibn Hanbl berkat hamper semua riwaytanya mempunyai ziyadah, Ibn
al-Madini meninggalkannya. Abu Htaim al-Razi berkata beliau saduq tetapi
yudallis dari du`afa’.
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wali tidak diambil
secara mutlak dan tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih
yang artinya, “Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak
terhadap dirinya dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari.
Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yg sekufu.
Abu Hanifah menangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak
boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima
hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah
menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang
hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau
meriwayatkannya. Dalam sanad hadits riwayat Ibn Majah pula ada seorang
pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
Abu Hanifah dan al-Hanafiyyah juga berhujah dengan qiyas iaitu
apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan urusan-urusan lain, maka
mereka juga bebas tentang aqad perkawinan mereka. Ini karena tiada
perbedaan antara satu aqad dengan aqad yang lain. Mereka juga
mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam mewalikan diri sendiri setelah
aqil baligh.
Al-Imam Malik ibn Anas
Malik ibn Anas membenarkan wanita yang tidak cantik, tidak berharta,
tidak berketurunan mulia untuk nikah tanpa wali. Dawud al-Zahiri
mengharuskan nikah tanpa wali bagi janda dan mensyaratkan wali bagi
wanita perawan.
Al-Imam al-Shafii
Yunus ibn ‘Abd al-A`la mengatakan bahwa al-Imam al-Shafi`i sendiri
mengatakan bahwa sekiranya seorang wanita dalam musafir dan ketiadaan
wali, lalu ia tahkim yaitu menyerahkan perkawinannya kepada seorang
lelaki, maka itu adalah harus (boleh). al-Nawawi menyokong perkara itu
dengan syarat lelaki itu mesti adil. al-Nawawi mengatakan bahawa Yunus
seorang yang thiqah.
Shaykh ‘Abd al-Rahman al-Jaziri seorang faqih terkemuka al-Azhar
mengatakan bahawa kedua-dua bentuk pernikahan adalah sah, amat perlu
dalam masyarakat Islam dan beliau menyokong hujah-hujah Hanafiyyah.
Beliau berpendapat bahawa perkara ini menunjukkan kekekalan, kesyumulan
dan kesesuaian Islam untuk menyelesaikan masalah masyarakat pada setiap
masa dan tempat sehingga tidak ada seorang pun yang teraniaya. Kedua-dua
pendapat adalah bagus, boleh diamalkan dan diterima akal. Menurut
beliau, apabila aqad mengikut mazhab jumhur terhalang karena sesuatu
sebab, umat Islam perlu menggunakan pendapat yang kedua (Pendapat Abu
Hanifah) dan hal tersebut tidak tercela.
Mazhab al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i
Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi wanita
muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang dengan
mafhum hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah tanpa izin walinya…”.
kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah pendapat
‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat wali bukan
rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah. Abu Yusuf,
Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini sah dengan
keizinan wali.
Hujah-hujah Mazhab al-Imam Abu Hanifah r.a.
1. Hadith wali dhaif (lemah)
al-Imam Abu Hanifah r.a. mengganggap hadiths wali ( larangan nikah
tanpa wali) adalah dhaif (lemah) lalu tidak mewajibkan wali bagi seseorg
muslimah baik perawan atau janda.
Al-Imam Muhammad ibn ‘Ali al-Shawkani dalam Nayl al-Awtar mengatakan
bahawa hadits ini (larangan nikah tanpa wali) tidak sunyi dari
pertikaian yaitu dari segi bersambung atau terputus sanad. Dua orang
ulama besar dalam ilmu hadits yaitu Sufyan al-Thawri dan Shu`bah ibn
al-Hajjaj mengatakan hadith ini mursal. Terdapat seorang perawi bernama
Abu Ishaq al-Hamdani seorang yang thiqah tetapi mudallis seperti yang
disebut oleh Ibn Hibban dalam al-Thiqat. Dalam riwayat al-Bayhaqi semua
perawinya adalah thiqah tetapi hanya mawquf pada Abu Hurayrah.
Dalam riwayat Ahmad ibn Hanbal, Ibn Majah dan al-Tabarani terdapat
seorang perawi bernama al-Hajjaj ibn Arta’ah seorang daif dan mudallis.
Ibn Hanbal berkata hamper semua riwayatnya mempunyai ziyadah, Ibn
al-Madini meninggalkannya. Abu Hatim al-Razi berkata beliau saduq tetapi
mudallis dari du`afa’.
2. Hujah hadits sahih
Lantaran itu, al-Imam Abu Hanifah mengatakan bahawa wali tidak
diambil secara mutlak (karena hadits – hadits wali tidak sahih) dan
tidak perlu keizinan wali berdasarkan hadits sahih yang maknanya,
“Wanita yang tidak bersuami itu (al-ayyim) lebih berhak terhadap dirinya
dari walinya.” Riwayat al-Jama`ah kecuali al-Bukhari. Ayyim menurut
bahasa ialah setiap wanita yg tidak bersuami baik ia perawan atau janda.
Yakni dengan syarat ia mengawinkan dirinya dengan lelaki yang sekufu
(sepadan).
Sekiranaya hadits-hadits wali adalah sahih, maka ia hanya khusus
untuk wanita yg masih kecil belum baligh dan wanita gila. Adapun
muslimah yg telah baligh ( dewasa) maka ia berhak mewalikan dirinya
sendiri (haqq al-tasurruf). Beliau dan pengikutnya dari kalngan ulama
hanfiyyah mentafsirkan hadits Tiada nikah melainkan dgn wali sebagai
tidak sempurna nikah , bukan tidak sah nikah.
3. Zhahir ayat-ayat al-Quran
Al-Imam Abu Hanifah berhujah dgn zahir ayat2 al-Quran yg menyatakan
perempuan itu menikahkan dirinya sendiri iaitu 230, 232 dan 234 surah
al-Baqarah ;
230. kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua),
Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan
suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka
tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk
kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum
yang (mau) mengetahui.
232. apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,
Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan
bakal suaminya, apabila telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan
cara yang ma’ruf.
234. orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan
isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya
(ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis
‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat
terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu
perbuat.
Abu Hanifah mengangggap zahir nas al-Quran itu amat kuat dan tidak
boleh ditakhsis atau ditafsil oleh hadith al-Ahad. Beliau hanya menerima
hadith mutawatir atau mashhur yang tidak dipertikaikan. Abu Hanifah
menolak hadith al-Zuhri di atas karena apabila al-Zuhri ditanya tentang
hadits tersebut beliau tidak mengetahuinya dan menafikan bahwa beliau
meriwayatkannya. Dalam sanad hadith riwayat Ibn Majah pula ada seorang
pendusta bernama Jamil ibn Hasan al-‘Ataki.
4. Hujah qiyas
Al-Imam Abu Hanifah dan Ulama al-Hanafiyyah juga berhujah dengan
qiyas yaitu apabila wanita bebas dalam aqad jual beli dan aqad
urusan-urusan lain, maka mereka juga bebas secara mutlak tentang aqad
perkawinan mereka. Ini karena tiada perbedaan antara satu aqad dengan
aqad yang lain. Mereka juga mengqiyaskan wanita dengan lelaki dalam
mewalikan diri sendiri setelah aqil baligh. Menghalang wanita yg baligh
dan aqil mengahwinkan diriny dgn mana2 lelkai yg sekufu adalah
bersalaagn dgn prinsip2 Islam yg asas (qawa`id al-Islam al-‘ammah).
Al-Hafiz Ibn Abi Shaybah meriwayatkan dengan dua sanad yang sahih
dari Zuhri dan Sha’bi tentang nikah tanpa wali, keduanya berkata,
Sekiranya dengan lelaki sekufu ia adalah harus (sah).
Al-Imam Abu Thawr dan al-Awza`i mengatakan bahwa harus (boleh) bagi
wanita muslimah mewalikan dirinya sendiri dengan izin walinya berpegang
dengan mafhum (pemahaman) hadits, “Mana-mana perempuan yang bernikah
tanpa izin walinya…”
kesahihan aqad nikah oleh seseorang perawan atau janda adalah
pendapat ‘Amir al-Sha`bi, Zufar, dan ulama Kufah. Mereka berpendapat
wali bukan rukun sah nikah tapi hanya syarat tamam (kesempurnaan) nikah.
Abu Yusuf, Muhammad ibn al-Hasan dan al-Awza`i mengatakan perkara ini
sah dengan keizinan wali.
NIKAH BERWALIKAN LELAKI SHALIH
Al-Imam Ibn Sirin
Al-Hafiz Ibn Hazm berkata telah sabit riwayatnya yang sahih dari Ibn
Sirin, bahwa perempuan yang tidak mempunyai wali lalu menyerahkan
kewaliannya kepada lelaki yang sholeh untuk mengaqadkannya maka ia
adalah harus (sah). Berdasarkan ayat 55 dari al-Qur’an surah
al-maidah ; Sesungguhnya wali kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan
orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat,
seraya mereka tunduk (kepada Allah).
Untuk sahnya pernikahan, para ulama telah merumuskan sekian banyak
rukun dan atau syarat, yang mereka pahami dari ayat-ayat
Al-Quran maupun hadis-hadis Nabi Muhammad Saw. Adanya calon suami dan
istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab dan
kabul merupakan rukun atau syarat yang rinciannya dapat berbeda
antara seorang ulama/mazhab dengan mazhab 1ain; bukan di sini
tempatnya untuk diuraikan.
Calon istri haruslah seorang yang tidak sedang terikat
pernikahan dengan pria lain, atau tidak dalam keadaan ‘iddah (masa
menunggu) baik karena wafat suaminya, atau dicerai, hamil, dan
tentunya tidak pula termasuk mereka yang terlarang dinikahi,
sebagaimana disebutkan di atas.
Abu Hanifah dan Abu Yusuf Berpendapat: “Sesungguhnya wanita yang
sudah dewasa dan berakal sehat berhak mengurus sendiri `aqad
pernikahannya, baik ia gadis maupun janda. Tetapi yang sebaiknya ia
menguasakan `aqad nikahnya itu kepada walinya, demi menjaga pandangan
yang kurang wajar, dari pihak pria asing, seandainya ia sendiri yang
melangsungkan aqad nikahnya itu. Tetapi wali `ashib (ahli waris)
tidaklah mempunyai hak untuk menghalang halanginya bila mana seorang
wanita menikah dengan seorang pria dengan mahar yang kurang dari nilai
mitsl (batas minimal).
Jika seorang wanita kawin dengan pria yang tidak sederajat tanpa
persetujuan wali ‘ashibnya, menurut pendapat yang diriwayatkan dari Abu
Hanifah dan Abu Y’usuf, pernikahan tersebut tidak sah. Pendapat ini
cukup beralasan karena tidak setiap wali dapat mengadukan perkaranya
kepada Hakim, dan tidak setiap Hakim dapat memutuskannya dengan adil.
Dalam keterangan lain disebutkan bahwa Abu Hanifah dan Abu Yusuf
berpendapat Bahwa wali berhak menghalang-halangi perkawinan wanita
dengan pria yang tidak sederajat dengan jalan permohonan kepada
Pengadilan untuk membatalkannya. Dengan alasan untuk menjaga `aib yang
kemungkinan timbul dari pihak suaminya selama belum melahirkan atau
belum hamil. Jika ternyata sudah hamil atau melahirkan, maka gugurlah
haknya untuk meminta pembatalan Pengadilan, demi menjaga kepentingan
anak din memelihara kandungannya. Tetapi jika pihak prianya sederajat,
sedangkan maharnya kurang dari mahar mitsl, dan jika wali mau menerima
calon suami ini, maka perkawinannya boleh terus berlangsung. Sebaiknya,
kalau ia menolak, yang bersangkutan boleh mengadu kepada Hakim untuk
meminta pembatalan.
Seandainya dari pihak wanita tidak mempunyai wali `ashib (ahli waris)
yaitu sama sekali tak mempunyai wali atau wali yang bukan wali `ashib,
maka tak ada hak bagi seorangpun diantara mereka ini untuk
menghalang-halangi aqad nikahnya, baik ia kawin dengan pria sederajat
atau tidak, dengan mahar mitsl atau kurang. Sebab dalam keadaan demikian
seluruh urusan dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri sepenuhnya.
Seandainya tidak ada seorang wali yang merasa terkenal, karena
perkawinannya dengan pria yang tidak sederajat itu dengan sendirinya
mahar mitslnya menjadi gugur, sebab ia sudah terlepas dari wewenang
wali-walinya.
Kesimpulannya ; Dalam Fikih Abu Hanifah terdapat Konsep Wali nikah
(tidak wajib) yang kontradiktif dengan jumhur (kebanyakan) ulama fikih,
yaitu “la yustararul waliyu fi sihhatin nikah al-balighah.” maksudnya
adalah bolehnya nikah tanpa wali bagi wanita yang sudah dewasa (perawan
atau janda), bahkan lebih lanjut dijelaskan bahwa seorang wanita dewasa
boleh melakukan akad nikahnya sendiri tanpa perantara walinya. Adapun
argumentasi yang diajukan oleh Abu Hanifah adalah:
1. Q.S. Al- Baqarah (2): 230; “Kemudian jika si suami mentalaknya
(sesudah talak yang kedua), maka perempuan itutidak halal lagi baginya
hingga dia kawin dengan suami yang lain….” Dan Q.S. Al- Baqarah (2): 234
yakni “…Kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, maka tiada dosa bagimu
(para wali)membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut…” Dalam ketiga ayat tersebut, akad dinisbahkan kepada perempuan,
hal ini menunjukkan bahwa perempuan memiliki hak melakukan pernikahan
secara langsung (tanpa wali).
2. Perempuan bebas melakukan akad jual-beli dan akad-akad lainnya,
karena itu ia bebas melakukan akad nikahnya. Karena tidak ada perbedaan
hokum antara akad nikah dengan akad-akad lainnya.
3. Hadis-hadis yang mengaitkan sahnya perkawinan dengan ijin wali
bersifat khusus, yaitu ketika sang perempuan yang akan menikahkan
dirinya itu tidak memenuhi syarat untuk bertindak sendiri, misalnya
karena masih belum dewasa atau tidak memiliki akal sehat. Hal ini
berdasarkan Hadits Nabi Muhammad SAW : ”Orang-orang yang tidak mempunyai
jodoh lebih berhak atas perkawinan dirinya daripada walinya, dan gadis
itu dimintakan persetujuannya untuk dinikahkan dan tanda ijinnya ialah
diamnya” (Hadits Bukhari Muslim).
Penutup
Dari dua pendapat, di atas mana yang benar? Tentunya seseorang tidak
bisa mengklaim dan memvonis pendapat ini paling benar, atau pendapat
itu salah (bathil). Sebab kesemuanya itu merupakan bentuk ijtihad ulama
mazhab (Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin
Hanbal) dikalangan ahlussunnah wal jama’ah, yang kita boleh mengambil
dan memilih mana yang cocok dan diyakini oleh kita. Sebab kebenaran
mutlak hanya datangnya dari Allah dan Rasul-Nya saja. ( Wallahu A’lam
bish-Showab)